Selasa, 06 Maret 2012

SEJARAH BAHASA INDONESIA

            Bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Melayu pada awalnya merupakan bahasa kerajaan tertua di Jambi. Istilah Melayu sendiri atau disebut juga Malaya berasal dari nama kerajaan tersebut yaitu Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha di hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera. Dalam perkembangannya pemakaian istilah Melayu mencakup wilayah geografis yang lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut, mencakup negeri-negeri di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga Bumi Melayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama. Bahasa Melayu kuno yang berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat "o" seperti Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang dan Bengkulu. Semenanjung Malaka dalam Nagarakretagama disebut Hujung Medini artinya Semenanjung Medini.
            Pada abad ke-7 Kerajaan Malayu berhasil dipukul mundur ke pedalaman oleh serangan Kerajaan Sriwijaya. Masyarakat yang mundur ke pedalaman berasimilasi ke dalam masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu (suku Melayu Minangkabau) yang merupakan salah satu marga di Sumatera Barat.
Oleh Kerajaan Sriwijaya bahasa Melayu (Bahasa Melayu Kuno) kemudian dijadikan bahasa kenegaraan. Hal ini diketahui dari penemuan 4 prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang menggunakan Bahasa Melayu, yaitu:
·         Prasasti Kedukan Bukit
·         Prasasti Talang tuo
·         Prasasti Telaga Batu
·         Prasasti Kota Kapur
Keempat prasasti ini menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Sebagai penguasa perdagangan pada masa itu, para pedagangnya membuat orang-orang yang berniaga terpaksa menggunakan bahasa Melayu, walaupun secara kurang sempurna. Hal ini melahirkan varian local dan temporal, yang secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar.
Dalam perkembangannya orang Melayu migrasi ke Semenanjung Malaysia (= Hujung Medini) dan lebih banyak lagi pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka, istilah Melayu bergeser kepada Semenanjung Malaka (= Semenanjung Malaysia) yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Tanah Melayu. Tetapi nyatalah bahwa istilah Melayu itu berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat "e".
Pada abad ke-15, Bahasa Melayu digunakan oleh Kerajaan Malaka (Kesultanan Malaka) dalam bentuk Bahasa Melayu Klasik, dimana dalam perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Kerajaan Malaka memiliki letak yang strategis sehingga menjadikannya pusat perdagangan utama di kawasan tenggara Asia, bahasanya yaitu bahasa Melayu menjadi bahasa yang digunakan seluruh Hindia Belanda.
Pada tahun 1512 Kerajaan Malaka diruntuhkan oleh Portugis yang ingin menguasai rempah-rempah. Bangsa Portugis yang menguasai Nusantara masa itu tidak sanggup menekan bahasa Melayu untuk digantikan dengan bahsa Portugis sehingga mau tidak mau bangsa Portugis pun harus mempelajari bahasa Melayu. Namun kedatangan Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela.
Kedatangan bangsa Portugis ke Nusantara diikuti oleh Belanda yang juga ingin menguasai rempah-rempah di Nusantara. Belanda pun berhasil mengalahkan Portugis dan mengambil alih posisi Portugis dalam menguasai rempah-rempah di Nusantara. Seperti halnya bangsa Portugis, bangsa Belanda juga tidak dapat menekan penggunaan bahasa Melayu meskipun sudah memaksakannya. Tetapi bahasa Belanda juga memperkaya bahasa Melayu terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.
Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Hal inilah yang menjadi awal bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Pada tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van Ophuijsen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) Van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan. Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.”
Pada 25-28 Juni 1938 diadakan Kongres Bahasa Indonesia di Solo oleh Ki Hajar Dewantara. Hasilnya dilakukan perbaikan tata bahasa Indonesia karena dianggap tidak mengikuti kemajuan bahasa.
            Pada 1942, Belanda Berhasil ditaklukkan. Namun tak lama setelah itu Jepang datang dan lagi-lagi menguasai Indonesia. Namun, pada 1945 Jepang mundur akibat kalah pada perang dunia.
            Pada 18 Agustus 1945, ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, dimana pada pasalnya yaitu pasal 36 menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara. Sehingga bahasa Indonesia telah menjadi bahasa resmi Negara Indonesia.


ANDI TENRI ANGKA 
1111040195

Tidak ada komentar:

Posting Komentar